Selasa, 04 Desember 2012
CARA MENATA RAMBUT
Hair Bow Tutorial Hairstyle Half-Updo for Medium Long Hair
Cocoon Curls | Easy No-Heat Curl Hairstyles
Selasa, 27 November 2012
Minggu, 18 November 2012
MEJA KAYU
Suatu
ketika, seorang kakek yang sudah sangat tua harus tinggal bersama
dirumah anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan cucunya yang
berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini sudah begitu rapuh, dan sering
bergerak tak menentu. Penglihatannyapun sudah sangat buram, dan
berjalannyapun sudah tertatih-tatih. Keluarga ini biasa makan bersama di
ruang makan. Namun, sang kakek yang sudah pikun ini sering mengacaukan
segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya
susah untuk menyantap makanan.
Suatu ketika, seorang kakek yang sudah sangat tua harus tinggal bersama dirumah anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan cucunya yang berusia
6 tahun. Tangan orangtua ini sudah begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannyapun sudah sangat buram, dan berjalannyapun sudah tertatih-tatih. Keluarga ini biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang kakek yang sudah pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan.
Sendok dan garpu kerap jatuh. Saat si orangtua ini meraih gelas, segera saja air yang ada didalamnya tumpah membasahi taplak meja makan.
Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. "Kita harus lakukan sesuatu, " ujar sang Istri. "Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk orang tua ini." Lalu, kedua suami-istri ini pun sepakat untuk membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Disana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan.
Karena sering memecahkan piring, anak dan menantunya juga sepakat untuk memberikan mangkuk kayu untuk si Kakek tua ini. Saat keluarga itu sibuk dengan makan malam, mereka sering mendengar isak tangis sang kakek dari sudut ruangan. Terlihat juga airmata yang tampak mengalir dari gurat keriput mata si kakek tua itu. Akan tetapi, hal ini sama sekali tidak menyentuh hati anak dan manantunya, malah selalu saja, kata yang keluar dari anak dan menantunya ini adalah omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi.
Cucu si kakek tua yang baru berusia 6 tahun ini sering dibuat tertegun memandangi semua perlakuan orangtuanya. Sampai pada suatu malam, ayah sianak ini tanpa sengaja melihat anaknya yang sedang bermain dengan peralatan kayu.
Dengan lembut ditanyalah anak itu. " Sayang Kamu sedang membuat apa …?".
Lalu dengan lugunya anak ini menjawab, "Aku sedang membuat meja kayu untuk makan ayah dan ibu nanti kelak kalo aku sudah besar.
Meja itu nanti akan kuletakkan di sudut sana, dekat tempat kakek biasa makan." Sambil tersenyum anak itu segera melanjutkan permainannya. Sungguh jawaban anak ini telah membuat kedua orangtuanya sangat terpukul. Suara mereka tiba-tiba berubah menjadi parau; Mulut mereka terkunci rapat; dan tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, perlahan-lahan airmatapun mulai menitik membasahi kedua pipi suami istri ini. Walau tak ada kata-kata yang terucap, tapi mereka kini benar-benar telah menyadari, ada sesuatu yang salah yang telah mereka lakukan pada orang tua mereka. Maka pada malam itu juga, mereka menuntun tangan orangtunya untuk kembali makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama dengan bahagia.
Para orang tua yang berbahagia dimanapun anda berada, anak-anak kita adalah cermin dari prilaku kita sehari-hari. Mata mereka akan selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan. Mereka adalah pembelajar yang luar biasa.
Jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak. Begitu pula sebaliknya; jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan buruk hal itupulalah yang akan dia lakukan kelak saat dewasa. Mari, kita selalu mengevaluasi setiap kebiasaan dan prilaku kita sebagai tabungan berharga yang kita simpan dalam diri anak-anak kita, sebagai bekal kelak pada saat mereka dewasa.
Suatu ketika, seorang kakek yang sudah sangat tua harus tinggal bersama dirumah anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan cucunya yang berusia
6 tahun. Tangan orangtua ini sudah begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannyapun sudah sangat buram, dan berjalannyapun sudah tertatih-tatih. Keluarga ini biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang kakek yang sudah pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan.
Sendok dan garpu kerap jatuh. Saat si orangtua ini meraih gelas, segera saja air yang ada didalamnya tumpah membasahi taplak meja makan.
Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. "Kita harus lakukan sesuatu, " ujar sang Istri. "Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk orang tua ini." Lalu, kedua suami-istri ini pun sepakat untuk membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Disana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan.
Karena sering memecahkan piring, anak dan menantunya juga sepakat untuk memberikan mangkuk kayu untuk si Kakek tua ini. Saat keluarga itu sibuk dengan makan malam, mereka sering mendengar isak tangis sang kakek dari sudut ruangan. Terlihat juga airmata yang tampak mengalir dari gurat keriput mata si kakek tua itu. Akan tetapi, hal ini sama sekali tidak menyentuh hati anak dan manantunya, malah selalu saja, kata yang keluar dari anak dan menantunya ini adalah omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi.
Cucu si kakek tua yang baru berusia 6 tahun ini sering dibuat tertegun memandangi semua perlakuan orangtuanya. Sampai pada suatu malam, ayah sianak ini tanpa sengaja melihat anaknya yang sedang bermain dengan peralatan kayu.
Dengan lembut ditanyalah anak itu. " Sayang Kamu sedang membuat apa …?".
Lalu dengan lugunya anak ini menjawab, "Aku sedang membuat meja kayu untuk makan ayah dan ibu nanti kelak kalo aku sudah besar.
Meja itu nanti akan kuletakkan di sudut sana, dekat tempat kakek biasa makan." Sambil tersenyum anak itu segera melanjutkan permainannya. Sungguh jawaban anak ini telah membuat kedua orangtuanya sangat terpukul. Suara mereka tiba-tiba berubah menjadi parau; Mulut mereka terkunci rapat; dan tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, perlahan-lahan airmatapun mulai menitik membasahi kedua pipi suami istri ini. Walau tak ada kata-kata yang terucap, tapi mereka kini benar-benar telah menyadari, ada sesuatu yang salah yang telah mereka lakukan pada orang tua mereka. Maka pada malam itu juga, mereka menuntun tangan orangtunya untuk kembali makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama dengan bahagia.
Para orang tua yang berbahagia dimanapun anda berada, anak-anak kita adalah cermin dari prilaku kita sehari-hari. Mata mereka akan selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan. Mereka adalah pembelajar yang luar biasa.
Jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak. Begitu pula sebaliknya; jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan buruk hal itupulalah yang akan dia lakukan kelak saat dewasa. Mari, kita selalu mengevaluasi setiap kebiasaan dan prilaku kita sebagai tabungan berharga yang kita simpan dalam diri anak-anak kita, sebagai bekal kelak pada saat mereka dewasa.
AYAH :)
Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang kuliah di luar kota jauh dari orang tua, yang sedang bekerja di perantauan,….
Akan sering merasa kangen [sekali] dengan Bundanya.. Lalu bagaimana dengan Ayah ??
Mungkin karena Bunda lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap harinya, tapi tahukah kamu jika Ayah-lah yang mengingatkan Bunda untuk menelponmu ?
Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Bunda yang lebih sering mengajak cerita atau berdongeng, tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Ayah bekerja dan dengan raut muka lelah Ayah selalu menanyakan pada Bunda tentang kabarmu dan apa yang kamu lakukan seharian ??
Pada saat kamu menangis merengek minta boneka atau mainan baru, Bunda menatapmu iba. Tetapi Ayah akan mengatakan dengan tegas : “Boleh, nanti beli, tapi tidak sekarang. ”
Tahukah kamu, Ayah melakukan itu karenan tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi ?
Saat kamu sakit, Ayah yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata : ” Sudah dibilang ! Kamu jangan hujan2an ! Minum es !”.

Walau tidak selembut kasih seorang ibu, kasih seorang ayah begitu mendalam dihati
Berbeda dengan Bunda yang memerhatikan dan menasihatimu dengan lembut. Ketahuilah, saat itu Ayah benar-benar mengkhawatirkanmu.
Ketika kamu sudah beranjak remaja.. Kamu mulai menuntut pada Ayah untuk dapat izin keluar malam, dan Ayah bersikap tegas dan mengatakan : “Tidak boleh !”.
Tahukah kamu, bahwa Ayah ingin menjagamu ? Karena bagi Ayah, kamu adalah sesuatu yang sangat luar biasa berharga..Setelah itu, kamu marah pada Ayah, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu…
Dan yang datang mengetuk pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah Bunda…
Tahukah kamu, bahwa saat itu Ayah memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya, bahwa Ayah sangat ingin mengikuti keinginanmu, Tapi lagi-lagi dia HARUS menjagamu ??
Ketika saat seorang cowok mulai sering menelponmu, atau bahkan datang ke rumah untuk menemuimu, Ayah akan memasang tampang paling cool sedunia… D
Dan sesekali menguping atau mengintip saat sedang kamu sedang mengobrol.. Sadarkah kamu, kalu hati Ayah sedang cemburu ??
Saat kamu mulai lebih dipercaya, dan Ayah melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu memaksa untuk melanggar jam malamnya… Maka yang dilakukan Ayah adalah duduk di ruang tamu, menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir..
Setelah lulus SMA, Ayah akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang Dokter atau Insinyur.. Ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan Ayah itu semata-mata hanya karena memikirkan mas depanmu nanti…
Tapi toh Ayah tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan Ayah.. )
Ketika kamu menjadi gadis dewasa.. Dah harus kuliah di kota lain.. Dan harus melepasmu di terminal stasiun atau bandara… Tahukah kamu bahwa badan Ayah terasa kaku untuk memelukmu ?
Dan Ayah hanya bisa tersenyum sambil memberi nasehat ini itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati… Padahal Ayah ingin sekali menangis seperti Bunda dan memelukmu erat..
Yang Ayah lakukan hanya memeluk pundakmu atau memegang kepalamu, berkata ” Jaga dirimu baik-baik ya. ”
Ayah melakukan itu semua agar kamu KUAT… kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.. *amiiiinn…..
Disaat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah Ayah.. Ayah juga berusaha keras mencari jalan agar anaknya merasa SAMA dengan teman-teman lainnya.
Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana..
Ayah adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu.
Ayah akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat “putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang”
Sampai saat seorang teman Lelakimu datang ke rumah dan meminta izin pada Ayah untuk mengambilmu darinya..
Ayah akan sangat berhati-hati memberikan izin..
Karena Ayah tahu…..
Bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti!!
Dan akhirnya….
Saat Ayah melihatmu duduk di Panggung Pelaminan bersama seseorang Lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, Ayah pun tersenyum bahagia….
Apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu Ayah pergi kebelakang panggung sebentar, dan menangis?
Ayah menangis karena Ayah sangat berbahagia, kemudian Ayah berdoa….
Dalam lirih doanya kepada Tuhan, Ayah berkata: “Ya Allah tugasku telah selesai dengan baik….
Putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita yang cantik….
Bahagiakanlah ia bersama suaminya…”
Setelah itu Ayah hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk…
Dengan rambut yang telah dan semakin memutih….
Dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk menjagamu dari bahaya….
Ayah telah menyelesaikan tugasnya….
Ayah, Papa, Bapak, atau Abah kita…
Adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat…
Bahkan ketika dia tidak kuat untuk tidak menangis…
Dia harus terlihat tegas bahkan saat dia ingin memanjakanmu. .
Dan dia adalah yang orang pertama yang selalu yakin bahwa “KAMU BISA” dalam segala hal…
Membeli Kasih Sayang Papa
Tomi, Pimpinan sebuah perusahaan di Jkt, tiba di rumahnya jam 9 malam.
Tak seperti biasanya anaknya, dinda, umur 9 th membukakan pintu untuknya. Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama.
"Kok, blum tidur?" sapa tomi
"Aku nunggu Papa pulang, sebab aku mau tanya, Berapa sih gaji Papa?"
"Kamuhitung ya.. Tiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam & dibayar400.000, tiap bulan rata-rata 22 hari kerja, kadang Sabtu masih lembur.Berapa gaji Papa hayo?"
"Kalo 1 hari Papa dibayar 400.000 u/ 10 jam, berarti 1 jam Papa digaji 40.000 dong" kata Dinda
"Wah, pinter kamu. Sekarang cuci kaki, terus tidur ya.."
"Papa, aku boleh pinjam 5.000 gak?"
"Sudah, gak usah macama-macam.. Buat apa minta uang malam-malam gini? Tidurlah.."
"Tapi Papa…"
"Papa bilang tidur!"
Dinda pun lari menuju kamarnya sedih.
Usai mandi, Tomi menyesali kekesalannya, menengok dinda di kamar tidurnya sedang terisak sambil memegang 15.000
Sambil mengelus kepala dinda, tomi berkata,
"Maafin Papa ya.. Papa sayang sama dinda.. Tapi buat apa sih minta uang sekarang?
"Papa, aku gak minta uang. Aku hanya pinjam, nanti aku kembalikan kalo sudah menabung lagi dari uang jajan seminggu ini."
"lya, iya, tapi buat apa?"
"Akununggu Papa dari jam 8 mau ajak Papa main ular tangga 30 menit aja.Mama sering bilang waktu Papa itu amat berharga. Jadi, aku mau gantiwaktu Papa. Aku buka tabunganku hanya ada 15.000... Karna Papa 1 jamdibayar 40.000, maka setengah jam aku harus ganti 20.000.. Duittabunganku kurang 5.000, makanya aku mau pinjam dari Papa" kata dindapolos
Tomi pun terdiam.
Ia kehilangan kata-kata.
Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan haru.
Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yg dia berikan selama ini, tak cukup untuk "membeli" kebahagiaan anaknya.
PESAN MORAL
"Bagi dunia kau hanya seseorang,
tapi bagi seseorang kau adalah DUNIA-nya"
Tak seperti biasanya anaknya, dinda, umur 9 th membukakan pintu untuknya. Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama.
"Kok, blum tidur?" sapa tomi
"Aku nunggu Papa pulang, sebab aku mau tanya, Berapa sih gaji Papa?"
"Kamuhitung ya.. Tiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam & dibayar400.000, tiap bulan rata-rata 22 hari kerja, kadang Sabtu masih lembur.Berapa gaji Papa hayo?"
"Kalo 1 hari Papa dibayar 400.000 u/ 10 jam, berarti 1 jam Papa digaji 40.000 dong" kata Dinda
"Wah, pinter kamu. Sekarang cuci kaki, terus tidur ya.."
"Papa, aku boleh pinjam 5.000 gak?"
"Sudah, gak usah macama-macam.. Buat apa minta uang malam-malam gini? Tidurlah.."
"Tapi Papa…"
"Papa bilang tidur!"
Dinda pun lari menuju kamarnya sedih.
Usai mandi, Tomi menyesali kekesalannya, menengok dinda di kamar tidurnya sedang terisak sambil memegang 15.000
Sambil mengelus kepala dinda, tomi berkata,
"Maafin Papa ya.. Papa sayang sama dinda.. Tapi buat apa sih minta uang sekarang?
"Papa, aku gak minta uang. Aku hanya pinjam, nanti aku kembalikan kalo sudah menabung lagi dari uang jajan seminggu ini."
"lya, iya, tapi buat apa?"
"Akununggu Papa dari jam 8 mau ajak Papa main ular tangga 30 menit aja.Mama sering bilang waktu Papa itu amat berharga. Jadi, aku mau gantiwaktu Papa. Aku buka tabunganku hanya ada 15.000... Karna Papa 1 jamdibayar 40.000, maka setengah jam aku harus ganti 20.000.. Duittabunganku kurang 5.000, makanya aku mau pinjam dari Papa" kata dindapolos
Tomi pun terdiam.
Ia kehilangan kata-kata.
Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan haru.
Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yg dia berikan selama ini, tak cukup untuk "membeli" kebahagiaan anaknya.
PESAN MORAL
"Bagi dunia kau hanya seseorang,
tapi bagi seseorang kau adalah DUNIA-nya"
Minggu, 11 November 2012
5 Cara Agar Bangun Tidur Pagi Tidak Malas
![]() |
1. Atur jadwal tidur
Jika ingin bangun dengan energi cukup, pastikan jam tidur Anda sudah memenuhi standar. Antara 6 hingga 8 jam setiap harinya. Tidak perlu terlalu ketat mematok jadwal, tubuh akan dengan sendirinya mengatur alarm.
2. Makan lebih awal
Sumber makanan yang manis sama halnya dengan sarapan pagi. Anda dapat mengambil roti manis atau apa saja setelah bangun pagi. Semakin awal Anda mengisi bahan bakar, semakin cepat metabolisme tubuhmenghasilkan energi. Tapi pastikan makanan yang dikonsumsi bebas minyak dan bebas karbohidrat buruk.
3. Peregangan otot
Meregangkan otot sendi juga dapat meningkatkan energi. Lakukan peregangan untuk bagian kaki, punggung, leher, dan lengan. Jika memiliki waktu yang cukup, coba yoga sebagai rutinitas baru untuk mengawali pagi Anda.
4. Mendengarkan musik
Saat bangun, segera beranjak untuk menyalakan perangkat audio Anda. Mendengarkan musik membantu meningkatkan suasana hati yang senang. Mood yang baik akan memberi pengaruh positif bagi semangat Anda. Lebih baik memutar lagu dari pada terus- menerus mendengarkan alarm yang setiap berapa menit berbunyi.
5. Segera mandi
Air adalah cara lain untuk mendapatkan energi instan. Segera bersihkan tubuh dengan guyuran air segar. Atau minimal membasuh muka dengan air dingin. Pilih sabun yang beraroma segar, seperti lemon atau mint.
Senin, 05 November 2012
CINTA LELAKI BIASA
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan
kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke
belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang
terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang;
Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka
ternyata sama herannya. Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan
surat undangan. Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin
menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di
kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu. Tiba-tiba
saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon
limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali
beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua
menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik
nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka. Kamu pasti bercanda! Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda. Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak. Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah. Tapi kenapa? Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa. Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya. Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania! Cukup! Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Setahun pernikahan. Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka. Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia. Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania. Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama. Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik ya? dan kaya! Tak imbang! Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
***
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya. Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan! Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil. Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang. Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali. Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya. Bang? Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan. Dokter? Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar. Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat? Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri. Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir. Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat. Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis. Mama Nania yang baru tiba, menangis.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya. Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh. Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi. Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh? Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli. Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun. Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari.
Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat. Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik. Baik banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua! Nania beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya. Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta.
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi? Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan. Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna.
Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya. Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka. Kamu pasti bercanda! Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda. Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak. Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah. Tapi kenapa? Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa. Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya. Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania! Cukup! Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Setahun pernikahan. Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka. Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia. Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania. Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama. Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik ya? dan kaya! Tak imbang! Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
***
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya. Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan! Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil. Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang. Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali. Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya. Bang? Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan. Dokter? Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar. Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat? Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri. Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir. Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat. Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis. Mama Nania yang baru tiba, menangis.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya. Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh. Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi. Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh? Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli. Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun. Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari.
Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat. Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik. Baik banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua! Nania beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya. Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta.
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi? Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan. Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna.
Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya. Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
KISAH ANAK YATIM
Pada September 1948, pasangan muda Amerika
menyeberangi Samudera Pasifik dengan sebuah kapal angkatan laut Amerika
bersama putra mereka, John dan seorang gadis dua tahun bernama Teresa
(Han Xiu).
Ketika tiba di Shanghai, mereka menempatkan Teresa kecil di bawah perawatan neneknya, yang ia belum pernah temui.
Ini adalah awal perjalanan Han Xiu dari China, kembali ke Amerika dan kini sukses sebagai novelis terkenal.
Setelah ia mengikuti sekolah menengah, Han Xiu tahu dari neneknya bahwa ia dilahirkan di New York;, AS.
Ayahnya
Willie Hanen adalah atase militer asing Amerika yang dikirim ke
Chongqing untuk membantu China memerangi Jepang 1943-1945. Sementara
ibunya adalah mahasiswi China yang belajar di Amerika Serikat.
Ayahnya
hanya melihatnya sekali di rumah sakit ketika dia lahir, dan ibunya
bercerai sesudahnya. Nenek Han Xiu berencana pergi ke Taiwan bersama
pemerintah Chiang Kai-shek, tetapi ia memutuskan untuk menetap di
Shanghai menghabiskan sisa hidupnya untuk mengurus Han Xiu.
Meskipun
Han Xiu adalah seorang siswa yang luar biasa di sekolah menengah, dia
dianggap tidak memenuhi syarat untuk diizinkan masuk ke perguruan tinggi
karena latar belakang keluarganya. Kertas ujian secara otomatis
dianggap sebagai tidak layak dan dicap dengan kata-kata "tidak layak
masuk."
Pada 1964, sekretaris Partai sekolahnya
mengatakan bahwa Han Xiu tujuh belas tahun harus mengundurkan diri dari
budaya Amerikanya dan menulis sebuah pernyataan tentang "memutuskan
hubungan" dari ayahnya agar diizinkan untuk menghadiri kuliah. Ketika
Han Xiu menolak, ia menjadi salah satu siswa Beijing pertama yang
dikirim untuk tinggal dan menetap di pedesaan.
"Saya hanya berpikir bahwa saya pasti tidak akan mengkhianati ayah saya" kata Han Xiu.
Hal itu menjelaskan mengapa dia tanpa ragu-ragu menolak untuk mengecam budaya Amerika ketika ia berusia 17 tahun.
Setelah
Revolusi Besar Kebudayaan dimulai, sebuah poster dengan tulisan besar
dipasang di sekolah Han Xiu di Propinsi Shanxi mengisyaratkan bahwa
"pembela imperialisme" itu bersembunyi di sana. Ini isyarat buruk untuk
Han Xiu, jadi dia memutuskan untuk meninggalkan Shanxi dan menuju
Xinjiang.
Dia menghabiskan sembilan tahun
berikutnya di Korps Produksi dan Konstruksi Xinjiang. Itu adalah di
wilayah gurun terpencil di bagian selatan provinsi dimana angin dan
pasir bertiup kuat sepanjang waktu. Dia tinggal di sebuah gua bawah
tanah yang basah, makan kubis rebus dan roti jagung kukus setiap hari.
Dia
sering sakit punggung luar biasa menyakitkan setelah menjadi sasaran
kerja paksa yang sangat keras di luar batas daya tahan nya. Namun Han
Xiu bertahan.
"Saya hanya ingin meninggalkan tempat ini hidup-hidup. Ini menjadi satu-satunya tujuan," katanya.
Suatu
kali Han Xiu sedang duduk dengan kerumunan orang banyak dalam kritik
publik besar dan mencela pertemuan yang diprakarsai oleh korps. Dia
tidak tahan melihat pertumpahan darah dan slogan-slogan Partai Komunis
China (PKC) dan mau pergi meninggalkannya. Namun, segera setelah ia
mulai berdiri, ia dipukul dengan gagang senapan sampai tak sadarkan
diri. Ketika ia terbangun tiga hari kemudian, dia menemukan dirinya
ditinggalkan begitu saja dalam keadaan setengah terkubur di padang
pasir. Dia merangkak kembali ke barak di mana ia menerima perawatan
ringan hanya dengan antiseptik. Namun, Han Xiu menderita efek dari
luka-luka yang ia derita selama bertahun-tahun.
Hidup
Han Xiu dalam barisan membuatnya melihat wajah sebenarnya dari PKC dan
bagaimana masyarakat China telah dipengaruhi olehnya.
"Dalam
sembilan tahun, saya telah menyaksikan banyak individu-individu
berpotensi tewas dalam pengasingan mereka di perbatasan padang pasir
terpencil. Ketika rezim berprasangka sesuatu tentang anda, mereka
mencoba mengubah anda. Jika mereka tidak bisa mengubah anda, mereka akan
mengirim anda kesuatu tempat di mana kerja paksa akhirnya yang akan
membunuh anda, sehingga benar-benar merusak tubuh fisik anda. Sepanjang
tahun, PKC dengan taktik yang tidak berubah yang telah mengejar para
intelektual serta kelompok sosial lainnya. Taktik ini tampaknya
berhasil," komentar Xiu.
Bertekad untuk Kembali ke Amerika Serikat
Han
Xiu ditugaskan untuk bekerja di pabrik kolektif besar di Beijing
sekembalinya dari Xinjiang pada 1976. Sekretaris Partai senang dengan
pekerjaannya dan membantunya mendapatkan akte kelahiran dan paspor AS
dari Biro Keamanan Umum Kota Beijing yang telah disita oleh pihak
berwenang selama Revolusi Besar Kebudayaan.
Han
Xiu kemudian pergi ke Kantor Biro Keamanan Umum Beijing Luar Negeri
dengan harapan untuk mengkonfirmasi kewarganegaraannya dan kembali ke
Amerika. Namun, biro itu akhirnya mengatakan bahwa dokumennya sudah
kedaluarsa dan tidak bisa dipakai baik untuk pemerintah Amerika maupun
China.
Namun Han Xiu tidak menyerah. Sebaliknya,
dia memutuskan untuk berkunjung ke Kantor Penghubung Amerika Serikat di
Beijing. Kantor ini didirikan setelah kunjungan Nixon untuk China ketika
hubungan diplomatik resmi belum terbentuk dengan AS.
Saat
itu 21 Februari 1977 hari paling tak terlupakan dalam hidup Han Xiu,
ketika dia melangkah melintasi garis putih di pintu masuk Kantor
Penghubung Amerika Serikat di Beijing. Seorang polisi militer dengan
senapan segera bergegas menghampirinya. Han Xiu menjelaskan bahwa ia
adalah seorang warga negara Amerika dan diperlukan untuk mengganti
paspornya yang sudah kadaluarsa.
"Anda pasti
bukan orang Amerika, orang Amerika akan tahu bahwa hari ini adalah hari
libur dan tak seorang pun berada di kantor," cemooh perwira polisi
militer tersebut.
Saat itu, kendaraan kecil
berhenti dan seorang pria muda keluar dari mobil dan segera melihat
bahwa Han Xiu pemegang paspor AS lama yang diterbitkan pada 1940-an. Dia
bertanya apakah dia boleh melihat paspornya.
"Anda tidak boleh meninggalkan garis putih, tolong. Saya akan segera kembali," katanya kepada Han Xiu.
Dia adalah Penghubung resmi Franklin P. Werdlaw AS. Dia segera kembali
dengan diplomat senior Jerome Christopher Ogden dan mereka mengatakan
kepada polisi militer untuk membiarkan Han Xiu pergi ke kantor mereka.
Tak
lama kemudian,, dalam waktu lima menit kewarganegaraan Amerikanya
dikonfirmasi. Han Xiu diperintahkan untuk mengambil paspor baru dalam
sebulan. Namun, karena Ogden mengasumsikan bahwa dokumennya akan disita
lagi, dia memberikan nomor telepon lima pejabat kantor hubungan AS dan
memintanya untuk mengingatnya dalam hati.
Han Xiu
berada di bawah pengawasan polisi ketika ia pulang ke rumah. Dia tidak
berhasil menghubungi salah satu dari lima Penghubung pejabat Amerika.
Setelah satu bulan berlalu telepon untuk Ogden akhirnya bisa masuk. Dia
secara singkat mengatakan bahwa dia akan mengambil paspor baru keesokan
harinya.
Keesokan harinya, dengan asumsi bahwa dia
sedang diikuti, ia mengambil rute langsung ke Kantor Hubungan AS dan
berhasil berjalan menuju pintu masuk. Ogden sudah ada di sana
menunggunya. Dia mengatakan kepada polisi militer bahwa keberadaanya
disana untuk mengambil paspor. Dia berjalan tepat di depan polisi
militer menyadari apa yang terjadi. Setelah dia menandatangani namanya
di paspor baru, Ogden mengatakan bahwa ia telah resmi menjadi warga
negara Amerika dengan paspor sah AS dan akan memberikan semua
perhatiannya untuk membantu dia kembali ke AS.
Penolakan untuk Menyerah
Pada
tengah malam, polisi masuk ke rumah Han Xiu, menangkapnya dan kembali
menyita paspornya dan akte kelahirannya. Dalam delapan bulan berikutnya,
ia diganggu dan menjalani berbagai "pembicaraan" dengan pihak
berwenang, namun Han Xiu menangani mereka dengan kecerdasan dan tekad.
Sementara
itu, setiap minggu Ogden pergi ke Kementerian Luar Negeri China dan
menuntut agar pemerintah membiarkan Han Xiu pergi dan kembali ke
Amerika, namun para pejabat China menjawab dengan cemoohan.
Pada
Agustus 1977, Menteri Luar Negeri AS Cyrus Vance mengunjungi China
untuk berbicara tentang membangun hubungan diplomatik dengan China.
Kedua negara memiliki negosiasi yang rumit tentang orang Amerika yang
masih tinggal di China.
"Mereka akhirnya memasukkan saya dalam kotak kue dan dikirimkan ke AS," kata Han Xiu bercanda.
Ketika
ia menginjakkan kaki di tanah Amerika, Amerika mengembangkan tangannya
untuk menyambut kembalinya warga negara yatim piatu ini. Segera setelah
itu, dia dirujuk mengajar bahasa Mandarin di Akademi Diplomasi Amerikan
di bawah Departemen Luar Negeri AS. Kepala akademi tidak senang karena
pejabat Departemen Luar Negeri mengatakan bahwa ia "harus" mempekerjakan
Han Xiu. Oleh karena itu ia bersikeras secara pribadi ingin
mewawancarai Han Xiu.
Ketika ia pertama kali bertemu dengan kepala Akademi, dia menelitinya. Lalu tiba-tiba air mata berlinang.
"Saya
kenal anda! Istri saya, anak dan saya adalah orang-orang yang membawa
anda ke China. Anda akhirnya datang kembali! Tentu saja saya harus
mempekerjakan anda," katanya.
Pada musim semi
1982, Han Xiu menikah dengan salah satu muridnya, seorang pejabat
diplomatik AS. Mereka tinggal di Beijing selama tiga tahun, di mana Han
Xiu berkumpul kembali dengan neneknya. Pada musim panas 1986, neneknya
meninggal dengan tenang sebelum Han Xiu dan suaminya kembali ke AS.
Han
Xiu mulai menulis pada 1982 dan saat ini ia terkenal di luar negeri
dari 29 buku yang diterbitkan. Dia tinggal di sebuah kota kecil dekat
Arlington National Cemetery di Washington DC, tempat ayahnya dimakamkan.
(EpochTimes/man)
Langganan:
Postingan (Atom)